PELAJARAN DARI PERANG HARROH
BAHAYA BERBICARA POLITIK TANPA ILMU
Oleh: Ustadz Muafa
Tahun 63 H kejadiannya.
Perang Harroh (وقعة الحرة) adalah perang yang terjadi antara penduduk Madinah dengan Yazid bin Mu’awiyah yang waktu itu menggantikan bapaknya; Mu’awiyah menjadi Khalifah melalui sistem pewarisan tahta. Di perang ini, Ibnu Shoyyad -lelaki Yahudi yang dicurigai sebagai Al-masih Ad-Dajjal- hilang.
Cerita perang ini: Penduduk Madinah melepas baiat kepada Yazid dan menyatakan memberontak memilih pemimpin sendiri.
Yazid murka, lalu mengirim sekitar 10.000 tentara.
Penduduk Madinah kalah, tentara yang menang diizinkan pemimpinnya yang bernama Muslim bin Uqbah “menghalalkan” Madinah (melakukan istibah) selama tiga hari.
Selama 3 hari itu mereka membunuh, merampas harta, dan memperkosa wanita-wanita muslimah!
Apa?!
Memperkosa wanita-wanita muslimah?
Benar, demikian keterangan Ibnu Taimiyyah yang dibenarkan oleh Ibnu Katsir.
Bukan muslimah biasa, tapi mereka adalah wanita-wanita milik sebagian shahabat yang masih hidup, dan tabi’in-tabi’in yang mulia!
Ibnu Taimiyyah berkata:
“..maka tentaranya (Muslim bin ‘Uqbah) berada di kota Madinah selama tiga hari, (mereka) membunuh, merampas harta, dan memecahkan keperawanan farji-farji yang suci…” (Majmu’ Al-Fatawa, juz 3 hlm 412)
Ibnu Katsir mengatakan:
“..dan mereka memperkosa para wanita…” (Al-Bidayah Wa An-Nihayah , juz 8 hlm 241)
Bahkan, konon menurut Hisyam bin Hassan ada 1000 wanita Madinah yang melahirkan tanpa suami (tapi jumlah ini tampak seperti redaksi mubalaghoh ). Al-‘Aini berkata:
“Dari Hisyam bin Hassan: 1000 wanita penduduk Madinah melahirkan (anak) tanpa suami..” (‘Umdatu Al-Qori, juz 17 hlm 221)
Lihatlah.
Betapa ijtihad politik itu sangat rawan, beresiko dan sangat besar akibatnya.
Mengerikan.
Bukan hanya harta yang dipertaruhkan, tetapi juga darah yang ditumpahkan, dan kehormatan yang dilecehkan.
Kaum muslimin tidak pernah saling menumpahkan darah hanya karena berselisih masa maksimal nifas 40 hari ataukah 60 hari, tapi mereka saling menumpahkan darah karena ikhtilaf politik! Dan itu sudah terjadi semenjak zaman Utsman, saat shahabat-shahabat besar masih hidup!
Apakah ini menunjukkan politik tidak penting dan tidak boleh dibicarakan?
Tidak juga.
Tapi ini menunjukkan dalam bidang ini jangan serampangan ikut bicara jika tidak memiliki ilmunya. Terlalu banyak fitnahnya.
Ijtihad politik harus super ekstra hati-hati. Butuh kedalaman dan ketajaman yang luar biasa. Meminimalisasi fitnah sekecil mungkin. Mereka yang gampang berfatwa padahal tidak menguasai medan dan ilmunya adalah para Ruwaibidhoh yang berbahaya bagi umat. Ini tema yang tidak bisa dibicarakan dan diputuskan oleh orang yang baru membaca satu dua buku. Apalagi hanya berbekal terjemahan meskipun puluhan.
Penilaian keabsahan sebuah pemerintah, penilaian keputusan mengangkat senjata, penilaian status Darul Kufur ataukah Darul Islam, penilaian mana kekhalifahan yang sah, penilaian siapa yang bughat siapa yang legal dan tema-tema semisal semuanya adalah topik-topik rawan yang berpeluang menumpahkan darah manusia, melecehkan kehormatan mereka dan merampas harta mereka.
Yang paling menakutkan pada saat berbicara fikih politik adalah ketika ganjaran amal salih kita di akhirat berpeluang habis total untuk membayar kezaliman-kezaliman terhadap orang yang terkena efek dari ucapan/tulisan kita terkait politik yang menyeret tindakan dosa dan kezaliman.
Jika merasa tidak berkompeten marilah minggir saja. Biar para ulama salih yang kompeten yang membicarakannya. Yang rasa sayangnya terhadap umat Islam melebihi rasa sayang terhadap diri mereka sendiri. Agar kaum muslimin tidak semakin gaduh.
Saya termasuk yang mengharuskan diri “minggir” untuk isu rawan ini.
https://irtaqi.net/2017/12/14/pelajaran-dari-perang-harroh/
Komentar
Posting Komentar