KONFLIK SEKTARIAN MALUKU AMBON MENGGUNAKAN TEORI ANALISIS KONFLIK WEHR DAN BARTOS SERTA POHON MASALAH SEBAGAI ALAT REKONSILIASI KONFLIK
Konflik Sektarian Maluku Ambon Menggunakan Teori Analisis
Konflik Wehr Dan Bartos Serta Pohon Masalah Sebagai Alat Rekonsiliasi Konflik
Oleh Kathrin Shakira (205120101111007) dan Thania Firdausa (205120101111009)
Konflik dalam kehidupan sosial merupakan sebuah benturan keinginan, pendapat dan kepentingan yang keberadaannya melibatkan antara dua pihak atau lebih. Pertentangan yang terjadi dapat berupa fisik maupun non-fisik. Namun, biasanya pemicu awal konflik kerap kali disebabkan oleh pertentangan non fisik yang berujung menimbulkan kekerasan. Maka dapat disimpulkan, konflik merupakan sebuah proses sosial dimana individu antar individu atau kelompok didalam masyarakat karena adanya perbedaan pemahaman dan kepentingan yang berakhir menimbulkan sekat atau pemisah antara pihak-pihak yang berkonflik. Sedangkan menurut Wehr dan Bartos, mengatakan bahwa konflik merupakan situasi sesungguhnya dimana suatu pertentangan dan permusuhan antara aktor untuk mencapai tujuan tertentu yaitu, Kepentingan. Wehr dan Bartos melakukan klasifikasi akan kriteria situasi konflik yakni, pertentangan (incompatibility), permusuhan (hostility), dan perilaku konflik (conflict behaviour). C. Bartos dan Wehr memberikan penjelasan akan Tindakan yang bersifat koersif dan fase konflik mendefinisikan konflik sebagai situasi Ketika aktor yang berkonflik melakukan perlawanan antara satu sama lain untuk menyelesaikan tujuan yang berseberangan atau mengekspresikan atas naluri permusuhannya. Unsur dari pemicu terjadinya konflik dikarenakan atas sebab incompatible goal dan hostility feeling membutuhkan perilaku konflik secara sosial. Perilaku konflik dikelompokkan menjadi Tindakan koersif dan non koersif. Bartos dan Wehr juga menggunakan logika berpikir sebab akibat dalam menganalisis munculnya konflik yang bersifat koersif. Menurutnya, perlakuan Tindakan X dapat merangsang respons Tindakan pihak Y.
Maluku merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki sejarah konflik terkait etnis dan politik yang juga mengaitkan isu agama di dalamnya. Konflik ini terjadi di Maluku pada tanggal 19 Januari 1999 dan berlangsung selama beberapa tahun sehingga banyak mengakibatkan kematian, kehilangan harta benda, penderitaan rakyat maluku, dan pemaksaan konversi agama. Konflik ini dianggap sebagai konflik atas kerusuhan, kejahatan, ataupun konflik yang melanggar hak-hak asasi manusia dalam skala besar. Dalam sejarah Indonesia, konflik ini memberikan catatan buruk yang tidak sesuai dengan keberadaan UUD sebagai negara yang berdemokrasi dan menjunjung hak asasi manusia. Pada masa orde baru, Maluku merupakan daerah yang kurang diperhatikan jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Hal ini lantas menimbulkan adanya kesenjangan sosial dan ekonomi. Konflik yang terjadi pada awalnya timbul antara kelompok etnis dan kemudian keberadaannya berkembang menjadi konflik antara agama Islam dan Kristen. Awalnya konflik ini terjadi hanya karena adanya kerusuhan antara etnis tertentu saja, namun pada akhirnya konflik maluku berakhir menjadi konflik agama yakni agama Islam dan Kristen. Pada kronologinya, konflik ini dapat terjadi setidaknya dengan enam indikator yakni, kenakalan remaja ataupun kriminalitas, penempatan pegawai di kantor gubernur maluku hanya untuk kelompok tertentu, upaya partai untuk memenangkan pemilu, kecemburuan sosial masyarakat adat terhadap kelompok pendatang yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi, konflik antar kelompok agama Kristen dan Muslim, dan upaya Republik Maluku dalam rangka disintegrasi bangsa. Banyak terjadi kerusuhan antara massa yang beragama Kristen Ambon dan Muslim di Ketapang, Jakarta Utara. Menurut keterangan saksi, massa bertindak sebagai provokator di Ambon pada Bulan Desember Tahun 1998 dan kemudian terjadi serangan pembakaran antar desa-desa Kristen dan muslim di beberapa wilayah ambon yang dipicu oleh tentara Indonesia pada 14 januari 1999.
Dari Konflik tersebut dapat dilakukan analisis menggunakan teori Lewis Coser akan gagasannya mengenai konflik. Menurut coser, dalam gagasannya yang mengatakan bahwa konflik terbagi menjadi dua yakni konflik realistis dan non-realistis. Konflik realistis dapat terjadi akibat alasan sumber konflik yang jelas atau bersifat material, misalnya seperti perebutan wilayah atau sumber ekonomi. Sedangkan untuk konflik non-realistis disebabkan akan keinginan yang cenderung tidak rasional, memiliki sifat yang ideologis misalnya seperti konflik antar etnis dan konflik antar kepercayaan. Dalam konteks ini, analisis dapat dilakukan pada kasus konflik yang terjadi di Maluku, yaitu dengan adanya konflik antar etnis dapat digolongkan terhadap kelompok konflik yang bersifat non-realistis. Konflik yang pada awalnya terjadi antara beberapa individu tanpa disebabkan oleh latar belakang agama yang dimiliki, namun konflik meluas sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap agama tertentu. Pada konflik ini, individu yang berkonflik beragama Islam dan Kristen. Saat itu penyebab awal disebabkan oleh masalah ekonomi. Namun permasalahan semakin meluas sehingga memberikan sentimen antar kedua belah kelompok. Masyarakat Islam saat itu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ke syariatan yang dipegang, namun masyarakat dengan kelompok agama Kristen merasa bahwa proses homogenisasi kebijakan politik menjadi berbasis Islam sangat merugikan bagi mereka. Maka, dalam hal ini kedua kelompok memiliki keinginan yang berbeda yakni kelompok masyarakat islam menginginkan adanya kebijakan yang berbasis agama dan kelompok masyarakat Kristen yang tidak menginginkan kebijakan sesuai syariat Islam. Hal ini merupakan konflik yang disebabkan oleh keinginan yang cenderung bersifat tidak rasional. Karena adanya keragaman budaya dan etnis yang dimiliki oleh negara Indonesia, untuk dapat menerapkan hanya peraturan dari satu kelompok mayoritas agama yang dianut dianggap tidak mewakili seluruh aspirasi masyarakat karena adanya perbedaan keyakinan. Sentimen antar kedua belah pihak ini yang membuat konflik semakin menjadi-jadi. Berikut pohon konflik sebagai bahan dalam membantu mengurutkan isu-isu pokok suatu konflik.
Dalam penyelesaian sesuai dengan gambar diatas, maka diperlukan tools atau alat bantu analisis konflik dengan tepat. Pada kasus konflik etnis, agama, dan politik di Maluku dapat menggunakan alat penyelesaian konflik berupa Pohon Masalah seperti yang tertera diatas. Menurut Miller (2004) dalam Scarvada (2004) menggunakan istilah issues trees yang dimaknai sebagai sebuah pendekatan untuk membantu melakukan perincian atas suatu masalah ke dalam komponen penyebab utama. Pohon masalah dianggap mampu untuk mengurutkan hubungan dari sebab dan akibat permasalahan yang terjadi. Permasalahan akan dilakukan klasifikasi mengenai akar dari permasalahan, inti permasalahan, dan dampak yang akan ditimbulkan. Pada metode yang dilakukan, penggambaran masalah dianalogikan sebagai batang dari pohon, keterkaitan masalah sebagai akar dari pohon, dan dampak yang ditimbulkan sebagai daun dari pohon. Kasus konflik di Maluku pada akar masalah dapat disebutkan dengan adanya kebijakan transmigrasi pemerintah pada tahun 1950 dari Bugis, Buton dan Makassar ke Maluku sehingga menyebabkan banyaknya masyarakat muslim. ICMI atau Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia didirikan oleh Soeharto dengan tujuan untuk mengamankan dukungan politik dari masyarakat muslim Ketika kekuasaan militer yang dimiliki memudar. Dalam tools pohon masalah, hal ini dapat diklasifikasi ke dalam akar permasalahan, dimana adanya kebijakan politik yang menggunakan agama sebagai kepentingan personal. Kemudian, pada inti permasalahan, akhirnya dengan banyaknya petinggi yang beragama Islam dan mengeluarkan peraturan yang sesuai syariat islam membuat kelompok Kristen kesal sehingga muncul konflik. Hal ini dapat diklasifikasikan kedalam inti dari permasalahan, yakni dimana akhirnya terjadi sentiment antara kelompok masyarakat Kristen dengan Islam. Maka, pada bagian daun pohon dapat disebutkan dampak dari adanya konflik tersebut, yakni banyaknya korban jiwa yang berhamburan, sentimen antar agama, hilangnya rasa nyaman dan aman dalam menjalankan kehidupan sosial, ataupun banyaknya kerusakan harta benda.
Maka rekonsiliasi yang dapat dilakukan yakni dengan melakukan musyawarah antara kedua belah pihak dengan membuat perjanjian-perjanjian yang harus disepakati. Perjanjian harus berisi keadilan bagi kedua belah kelompok yang berkonflik. Tidak ada yang dianggap merugikan antara satu sama lain. Perjanjian dilakukan dan dibuat secara musyawarah dengan menampung seluruh aspirasi aktor yang berkonflik. Untuk dapat berlangsungnya kegiatan, rekonsiliasi berupa musyawarah dengan kesepakatan perjanjian dapat dilakukan oleh perwakilan kelompok yang memiliki pengaruh dalam masyarakat. Dalam hal ini dilansir dari situs web kompasiana.com (2021), aparat sebenarnya terlibat dalam setiap cabang konflik. Saat itu, pemerintah pusat menyepakati perjanjian Malino II untuk mengakhiri konflik Ambon, meski sebelumnya pemerintah menolak perjanjian Malino II. Hal ini menunjukkan bahwa peran negara dalam penanganan konflik Ambon sangat minim. Saat bentrokan berlanjut, strategi pemerintah pasca perang adalah memperkuat pasukan Brimob dan TNI.
Berikut penjelasan mengenai Konflik Sektarian Kepulauan Ambon Maluku (1999)
Konflik, K., Coser, L. A., Bahasa, P., Bahasa, F., Surabaya, U. N., Parmin, D., & Hum, M. (1980). Kurnia Pangesti.
Kompasiana. (2021). Mengingat Kembali Sejarah Singkat Konflik Ambon: Latar Belakang, Akar Permasalahan dan Penyelesaian Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mengingat Kembali Sejarah Singkat Konflik Ambon: Latar Belakang, Akar Permasalahan dan Penyelesaian. Www.Kompasiana.Com. https://www.kompasiana.com/umi03508/61b9641c06310e49655b7192/mengingat-kembali-sejarah-singkat-konflik-ambon-latar-belakang-akar-permasalahan-dan-penyelesaian
Konflik, S., Perdamaian, D. A. N., & Utara, D. I. M. (2006). Sejarah konflik dan perdamaian di maluku utara. 222–247.
Siradjuddin. (2015). Akar-Akar Konflik Fundamental Perspektif Ekonomi Politik. Jurnal Iqtisaduna, 1(2), 18–39.
Komentar
Posting Komentar