HUKUM SHALAT TA’QIB
Oleh: Ust. Muafa
Yang dimaksud dengan salat ta’qib (صَلاَةُ التَّعْقِيْب) adalah salat tambahan yang dikerjakan setelah salat tarawih. Ta’qib berasal dari kata ‘aqqoba (عَقَّبَ) yang bermakna menyusulkan. Jadi, dalam bahasa mudah salat ta’qib bermakna salat susulan. Ibnu Al-Atsir berkata;
التعْقيبُ هو … صلاة النَّافلة بعد التَّراويح
“Ta’qib adalah… salat nafilah setelah tarawih”
Definisi senada diungkapkan oleh Az-Zamakhsyari;
هو أنْ يصلُّوا عَقبَ التراويح
“Ta’qib adalah salat setelah tarawih”
Berdasarkan definisi di atas, bisa dikatakan bahwa salat ta’qib adalah salat tarawih sesi dua. Bisa juga katakan dengan ungkapan lain bahwa salat jenis ini adalah salat yang memisah salat tarawih menjadi dua sesi; Sesi pertama di awal malam, yakni setelah Isya, sesi kedua di akhir malam (umumnya setelah tidur). Kaum muslimin sendiri secara fakta memiliki empat variasi dalam mengerjakan salat tarawih: a) salat di awal malam b) salat diakhir malam c) salat diawal malam sampai akhir malam d) salat di awal malam dan di akhir malam. Yang terakhir ini yang disebut salat ta’qib (yakni salat di akhir malam).
Sebagian ulama menambahi qoid (pembatas) khusus untuk salat ta’qib, yakni dilakukan secara berjamaah. Ibnu Qudamah berkata;
فَأَمَّا التَّعْقِيبُ، وَهُوَ أَنْ يُصَلِّيَ بَعْدَ التَّرَاوِيحِ نَافِلَةً أُخْرَى جَمَاعَةً، أَوْ يُصَلِّيَ التَّرَاوِيحَ فِي جَمَاعَةٍ أُخْرَى
“Adapun ta’qib maknanya adalah salat nafilah yang lain setelah tarawih secara berjamaah, atau salat tarawih dalam jamaah yang lain.”
Al-Maqrizi memberi qoid (pembatas) tempat pelaksanaannya, yaitu di masjid. Beliau berkata,
التَّعْقِيبِ وَهُوَ رُجُوعُ النَّاسِ إِلَى الْمَسْجِدِ بَعْدَ انْصِرَافِهِمْ عَنْهُ
“Ta’qib yakni kembalinya orang-orang ke masjid setelah mereka pergi darinya.”
Sebagian lagi menekankan qoid (pembatas) salat witir. Artinya, dinamakan salat ta’qib jika salat tersebut dilakukan setelah salat tarawih yang ditutup salat witir. Karena itu, pendapat ini tidak setuju mengatakan salat ta’qib disamakan dengan salat tahajjud/qiyamul lail karena salat tahajjud itu dilakukan sebelum salat witir, sementara salat ta’qib ini umumnya dilakukan setelah melakukan salat witir. Akibatnya, jika ada seseorang yang ingin melakukan salat tahajjud (bukan salat ta’qib), maka saat mengikuti salat tarawih setelah Isya dia tidak mengikuti salat witir.
Ini adalah gambaran para ulama mendefinisikan salat ta’qib. Dari definisi-definisi di atas, definisi yang paling akurat menggambarkan fakta salat ta’qib adalah definisi awal yang menjelaskan salat ta’qib tanpa qoid (pembatas), karena esensi salat ta’qib adalah menambah sesi salat malam. Jadi, salat ta’qib adalah salat sunnah susulan yang dikerjakan setelah salat tarawih. Tidak perlu membedakan apakah salat tarawih sebelumnya ditutup salat witir ataukah tidak, juga tidak membedakan apakah tarawih di awal malam yang dilakukan rakaatnya dituntaskan (misalnya 8 atau 20 atau 36) atau tidak dituntaskan (misalnya hanya mengerjakan separuhnya 8, 10, atau 18), juga tidak membedakan apakah dilakukan secara berjamaah ataukah munfarid, juga tidak membedakan apakah dikerjakan di masjid ataukah di rumah. Bahkan dengan mengingat salat tarawih esensinya dengan salat malam, kita juga bisa mengatakan bahwa salat ta’qib adalah qiyamul lail yang dikerjakan setelah qiyamul lail, atau tahajjud yang dikerjakan setelah tahajjud, atau tarawih yang dilakukan setelah tarawih. Semuanya dinamakan salat ta’qib selama terealisasi sifat dikerjakan pada sesi kedua setelah dikerjakan salat tarawih/qiyamul lail/tahajjud.
Istilah salat ta’qib bukan lafaz syar’i, karena itu lafaz ini tidak akan ditemukan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Istilah salat ta’qib sebagaimana istilah salat tarawih adalah istilah fikih yang diciptakan para fuqoha untuk mendeskripsikan fakta baru terkait salat yang belum pernah ada dan belum pernah terjadi di zaman Rasulullah ﷺ.
Adapun motivasi orang melakukan salat ta’qib, maka hal itu bisa bermacam-macam. Bisa jadi orang melakukan salat ta’qib karena masih memiliki semangat tinggi untuk menambah ibadah salat malam sehingga tarawih setelah Isya yang diikuti masih dirasa kurang, bisa jadi karena merasa salat tarawih yang diikuti kurang mantap, bisa jadi karena ingin menambah pahala sunnah, dan lain-lain. Di Indonesia, kebanyakan salat ta’qib dipraktekkan pada 10 hari terakir bulan Ramadan dalam rangka melaksanakan perintah Nabi ﷺ untuk itikaf dan menghidupkan malam-malamnya. Umumnya salat ta’qib ini juga dilakukan karena menyangka salat tarawih berbeda dengan salat malam/qiyamul lail/tahajjud.
Hukum Salat Ta’qib
Salat ta’qib tidak terlarang dan tidak dimakruhkan, bahkan tergolong perbuatan maruf berdasarkan keumuman perintah Rasulullah ﷺ untuk giat melakukan salat malam di bulan Ramadan. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Dari Abu Hurairah ﷺ bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadan karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ memerintahkan dan mendorong kaum muslimin untuk melakukan qiyam, yakni salat di malam Ramadan. Perintah Nabi ﷺ itu disampaikan dalam bentuk umum dan mutlak tanpa batasan terkait waktu maupun jumlahnya. Oleh karena itu, berdasarkan hadis ini, qiyam Ramadan bisa dilakukan di awal malam, di akhir malam, di awal malam membentang sampai akhir malam, dan di awal malam kemudian di tambah di akhir malam. Semuanya boleh karena menjalankan keumuman perintah dalam hadis ini. Jadi, salat ta’qib tidak terlarang karena termasuk menjalankan perintah ini.
Lagi pula Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk menghidupkan malam-malam pada 10 hari terakhir bulan Ramadan. Maksud menghidupkan adalah mengisi malam-malam tersebut dengan salat, dzikir, doa, tilawah dan ibadah-ibadah mahdhoh yang lain. Salat ta’qib termasuk menjalankan perintah menghidupkan 10 malam terakhir bulan Ramadan. Karenanya, salat ta’qib tidak terlarang. Jadi, berdasarkan dalil perintah Rasulullah ﷺ untuk melakukan qiyam di bulan Ramadan secara umum dan dalil perintah menghidupkan 10 malam terakhir bulan Ramadan maka bisa dikatakan salat ta’qib adalah salat maruf yang tidak dilarang dan tidak dimakruhkan.
Lebih dari itu, telah ada atsar sahahabat yang membolehkan salat ta’qib, yakni fatwa Anas bin Malik (. Beliau menyebut salat ta’qib sebagai khoir (kebaikan). Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan,
حَدَّثَنَا عَبَّادٌ ، عَنْ سَعِيدٍ ، عَنْ قَتَادَةَ ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ : لاَ بَأْسَ بِهِ إنَّمَا يَرْجِعُونَ إلَى خَيْرٍ يَرْجُونَهُ وَيَبْرَؤُونَ مِنْ شَرٍّ يَخَافُونَهُ.
“Abbad memberitahu kami, dari Said, dari Qatadah, dari Anas, beliau mengatakan, Tidak apa-apa (salat ta’qib), mereka hanya kembali menuju kebaikan yang mereka harapkan dan berlepas diri dari apa yang mereka khawatirkan.
Dalam riwayat di atas, Anas ( ditanya tentang salat ta’qib. Beliau menjawab bahwa salat seperti itu tidak apa-apa, karena orang yang melakukan salat ta’qib, yakni kembali lagi ke masjid untuk salat tarawih sesi dua di akhir malam, hakikatnya adalah kembali untuk melakukan kebaikan, dan menjauhi diri dari keburukan yang mereka khawatirkan. Atsar ini adalah atsar yang sanadnya sahih, dikutip dalam banyak kitab-kitab fikih induk untuk membolehkan salat ta’qib.
Adapun kritikan terhadap atsar ini, yakni mengkritik Qotadah bin Diamah As-Sadusi sebagai perawi mudallis, sementara dalam atsar ini beliau meriwayatkan dengan sighat ananah sehingga dianggap lemah, maka kritikan ini tidak bisa diterima. Qatadah adalah seorang hafidh. Kekuatan hapalannya bagaikan keajaiban dunia. Pujian Ibnu Hajar kepada beliau adalah mensifati dengan pujian rangkap yaitu tsiqoh tsabat (terpercaya nan kokoh). Dari sisi ini, tidak layak menolak Qotadah. Lagipula, meskipun Qotadah melakukan ananah dalam riwayat ini, tetapi itu bukan kebiasaan beliau dan guru beliau dalam sanad ini yakni Al-Hasan Al-Bishri adalah seorang imam tsiqoh yang populer yang telah terbukti ada hubungan guru murid dengan Qotadah yang mana liqo (pertemuan) dan sama’ (mendengar dari guru) dalam hal ini tidak perlu diragukan lagi, sehingga ‘an’anah Qotadah bisa diterima. Ibnu Abdil Barr mengkritik orang yang menolak ‘an’anah Qotadah secara mutlak sebagai bentuk ta’assuf (kecerobohan). Ibnu Abdil Barr berkata;
وَقَالَ بَعْضُ مَنْ يَقُولُ بِالتَّيَمُّمِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ قَتَادَةُ إِذَا لَمْ يَقُلْ سَمِعْتُ أَوْ حَدَّثَنَا فَلَا حُجَّةَ فِي نَقْلِهِ وَهَذَا تَعَسُّفٌ
“Sebagian orang yang berpendapat tayammum sampai ke dua siku-siku mengatakan, “Qotadah, jika tidak mengatakan ‘sami’tu (aku mendengar)’ atau ‘haddatsana (ia memberitahu kami)’, maka tidak ada hujjah dalam penukilannya. Ini adalah kecerobohan.
Adapun kritikan terhadap perawi yang bernama Said bin Abi Arubah yang dikatakan berubah hafalannya di akhir usianya, sehingga riwayat Abbad bin Al-Awwam darinya tidak bisa diterima, maka kritikan ini tidak bisa diterima. Dengan asumsi kritikan tersebut bisa diterima, maka kekhawatiran perawi yang mukhtalith itu hanyalah kekeliruan dalam membalik, menukar, lupa rincian poin dan semisalnya. Riwayat ini tidak mengandung hal-hal tadi karena termasuk riwayat pendek, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lagi pula, fatwa Anas ( ini dinyatakan oleh atsar shahih yang lain yang menguatkan Anas ( membolehkan salat ta’qib. Dalam kitab Ghorib Al-Hadits disebutkan;
وَقَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ فِي حَدِيثِ أَنَسٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ التَّعْقِيبِ فِي رَمَضَانَ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُصَلُّوا فِي الْبُيُوتِ
مِنْ حَدِيثِ ابن المبارك أخبرنا هَارُونُ بْنُ مُوسَى عَنْ مَكْحُولٍ
“Abu Sulaiman berkata dalam hadis Anas bahwasanya beliau ditanya tentang ta’qib di bulan Ramadan, maka beliau memerintahkan mereka untuk salat di rumah. (ini adalah riwayat yang berasal) Dari hadis Ibnu Al-Mubarok, ia berkata, ‘Harun bin Musa memberitaku kami dari Makhul.
Dalam riwayat di atas, ketika Anas ( ditanya tentang salat ta’qib beliau memerintahkan agar orang-orang melaksanakannya di rumah. Perintah melaksanakan di rumah ini bermakna salat tersebut bukan perbuatan munkar tetapi perbuatan maruf. Seandainya itu munkar atau makruh, tidak mungkin Anas ( memerintahkannya, mendiamkan dan merestuinya. Adanya perintah, pendiaman dan restu ini menunjukkan salat ta’qib tidak terlarang. Adapun ketidaksukaan dilaksanakannya salat ta’qib di masjid sebagaimana yang terkandung secara implisit dalam riwayat ini, maka hal itu bisa dipahami jika diperintahkan penguasa kaum muslimin. Artinya, Anas ( tidak suka jika salat ta’qib ini diinstruksikan sehingga memberatkan kaum muslimin. Adapun jika salat ini inisiatif masing-masing individu, maka Anas ( sama sekali tidak keberatan dan ini sejalan dengan riwayat sebelumnya ketika Anas ( mensifati salat ta’qib itu sebagai khoir (kebaikan). Maksudnya, jika salat ta’qib ini dilakukan di masjid atas inisiatif masing-masing individu, tanpa instruksi penguasa, maka itu adalah khoir (kebaikan), bukan syarr (keburukan).
Selain itu, melakukan salat ta’qib bermakna melakukan fashl (pemisahan) salat tarawih. Pertama melakukan tarawih di awal malam (setelah Isya), kemudian melakukan tarawih lagi di akhir malam. Pemisahan dari sisi pemisahan salat itu sendiri sudah terealisasi pada salat tarawih yang umum dilakukan masyarakat. Tarawih dinamakan tarawih karena setiap empat rakaat diselipi tarwihah (duduk istirahat untuk mengembalikan tenaga). Riwayat-riwayat generasi terdahulu menyebut durasi istirahat ini cukup untuk melakukan thawaf 7 kali dan salat sunnah 2 rakaat. Ini durasi yang cukup panjang. Kemungkinan antara 20-30 menit. Jika fashl 20-30 menit dalam salat tarawih biasa dibolehkan, maka semestinya fashl lama yang ada pada salat ta’qib juga dibolehkan.
Kebolehan salat ta’qib ini tidak perlu dibedakan antara salat ta’qib yang dilakukan secara berjamaah maupun sendirian, di masjid maupun di rumah, sebelumnya telah melakukan salat witir atau belum melakukan. Pembedaan itu semua tidak perlu karena tidak ada dasarnya. Salat tarawih dan salat witir itu sendiri sifatnya longgar. Hukum asalnya dilakukan secara munfarid, tetapi tidak dilarang jika dilakukan secara berjamaah sebagaimana salat-salat nawafil yang lain.
Jadi salat ta’qib tidak dilarang tanpa membedakan apakah berjamaah ataukah munfarid, dikerjakan di masjid maupun di rumah, juga tidak membedakan apakah tarawih sebelumnya ditutup dengan witir ataukah tidak ditutup witir, juga tidak membedakan apakah tarawih di awal malam yang dilakukan rakaatnya dituntaskan (misalnya 8 atau 20 atau 36) atau tidak dituntaskan (misalnya hanya mengerjakan separuhnya 8, 10, atau 18). Semuanya boleh berdasarkan keumuman perintah qiyam di bulan Ramadan dan perintah menghidupkan 10 malam terakhir bulan Ramadan.
Imam Ahmad termasuk yang berpendapat salat ta’qib tidak mengapa. Dalam kitab al-Mughni disebutkan,
فَعَنْ أَحْمَدَ: أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ؛
“Dari Ahmad, bahwasanya salat ta’qib itu tidak apa-apa.”
Demikian pula Ibnu Qudamah. Menurut beliau salat ta’qib adalah kebaikan dan ketaatan,
وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ لَا يُكْرَهُ؛ لِأَنَّهُ خَيْرٌ وَطَاعَةٌ، فَلَمْ يُكْرَهْ، كَمَا لَوْ أَخَّرَهُ إلَى آخِرِ اللَّيْلِ
“Yang benar bahwa itu tidak dimakruhkan karena merupakan kebaikan dan ketaatan, jadi tidak dimakruhkan, sebagaimana jika ia mengakhirkan sampai akhir malam.”
Demikian pula Ibnu Muflih,
وَظَاهِرُهُ: أَنَّهُ إِذَا تَطَوَّعَ بَعْدَهُمَا وَحْدَهُ لَا يُكْرَهُ، وَصَرَّحَ بِهِ ابْنُ تَمِيمٍ وَذَكَرَهُ مَنْصُوصًا
“Zahirnya, jika ia melakuan salat tathowwu’ setelah tarawih dan witir secara sendirian maka tidak dimakruhkan. Ini dinyatakan dengan lugas oleh Ibnu Tamim dan disebutkan secara tekstual.”
Kritikan Terhadap Pendapat yang Memakruhkan Salat Ta’qib
Pendapat yang memakruhkan salat ta’qib pada dasarnya dibangun atas tiga argumentasi utama, pertama: Salat ta’qib akan melanggar petunjuk Nabi ﷺ yang memerintahkan untuk menjadikan salat witir sebagai penutup salat sunnah, kedua; Salat ta’qib akan melanggar larangan Nabi ﷺ untuk menjadikan dua witir dalam satu malam, ketiga; Nukilan-nukilan atsar salaf yang mengesankan kemakruhan salat ta’qib.
Hadis yang memerintahkan agar salat witir dijadikan penutup salat sunnah adalah riwayat Bukhari berikut ini,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ( dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Jadikanlah akhir shalat malam kalian dengan salat witir.”
Hadis yang melarang ada dua witir dalam semalam adalah hadis riwayat At-Tirmidzi berikut ini,
عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقِ بْنِ عَلِىٍّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ »
“Dari Qais bin Thalq bin Ali dari ayahnya dia berkata, saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada dua kali witir dalam satu malam.”
Adapun atsar-atsar yang memberi kesan sebagian ulama salaf tidak suka salat ta’qib, di antaranya adalah atsar Anas ( berikut ini,
وَقَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ فِي حَدِيثِ أَنَسٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ التَّعْقِيبِ فِي رَمَضَانَ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُصَلُّوا فِي الْبُيُوتِ 1
مِنْ حَدِيثِ ابن المبارك أخبرنا هَارُونُ بْنُ مُوسَى عَنْ مَكْحُولٍ
“Abu Sulaiman berkata dalam hadis Anas bahwasanya beliau ditanya tentang ta’qib di bulan Ramadan, maka beliau memerintahkan mereka untuk salat di rumah.” (ini adalah riwayat yang berasal) Dari hadis Ibnu Al-Mubarok, ia berkata, ‘Harun bin Musa memberitaku kami dari Makhul.
Demikian pula Al-Hasan Al-Bishri,
عَنِ الْحَسَنِ ، أَنَّهُ كَرِهَ التَّعْقِيبَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ ، وَقَالَ الْحَسَنُ لاَ تُمِلُّوا النَّاسَ
“Dari Al-Hasan, bahwasanya beliau tidak menyukai ta’qib di bulan Ramadan. Al-Hasan berakata, “Janganlah membuat orang-orang menjadi bosan.”
Demikian pula Sa’id bin Jubair,
وَعَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّهُ كَرِهَ التَّعْقِيبَ فِي رَمَضَانَ
“Dari Said bin Jubair rahimahullah, bahwasanya beliau tidak suka ta’qib di bulan Ramadan.”
Demikian pula Qotadah,
عَنْ قَتَادَةَ والحسن : أَنَّهُمَا كَانَا يَكْرَهَانِ التَّعْقِيبَ فِي رَمَضَانَ
“Dari Qatadah dan Al-Hasan bahwasanya mereka tidak suka ta’qib di bulan Ramadan.”
Jawaban atas argumentasi-argumentasi di atas adalah sebagai berikut.
Terkait hadis Nabi ﷺ yang memerintahkan agar menjadikan salat witir sebagai penutup salat sunnah, maka perintah tersebut bermakna mandub/sunnah bukan wajib apalagi syarat sah. Jika sudah disepakati mandub, maka tidak ada hujjah untuk mencegah orang salat lagi setelah witir, karena mandub bermakna jika ditinggalkan tidak dicela.
Dalil yang menguatkan bahwa perintah tersebut bermakna mandub adalah riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah salat lagi setelah salat witir. At-Tirmidzi meriwayatkan;
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ
“Dari Ummu Salamah ( bahwasanya Nabi ﷺ melaksanakan shalat dua raka’at setelah melaksanakan shalat witir.”
Salat nafilah lagi setelah salat witir ini bukan saja pernah dilakukan Rasulullah ﷺ, tetapi juga dilakukan shahabat yang bernama Tholq bin ‘Ali. Abu Dawud meriwayatkan;
عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ قَالَ زَارَنَا طَلْقُ بْنُ عَلِىٍّ فِى يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَمْسَى عِنْدَنَا وَأَفْطَرَ ثُمَّ قَامَ بِنَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ وَأَوْتَرَ بِنَا ثُمَّ انْحَدَرَ إِلَى مَسْجِدِهِ فَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ حَتَّى إِذَا بَقِىَ الْوِتْرُ قَدَّمَ رَجُلاً فَقَالَ أَوْتِرْ بِأَصْحَابِكَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ ».
“Dari Qais bin Thalq, ia berkata; Thalq bin Ali telah mengunjungi kami pada Bulan Ramadan hingga sore dan berbuka bersama kami, kemudian dia melakukan shalat sebagai imam bagi kami pada malam itu, dan melakukan witir, kemudian dia turun kemasjidnya dan melaksanakan shalat menjadi imam bagi sahabat-sahabatnya hingga tatkala tinggal shalat witir, ia mempersilahkan seseorang ke depan dan mengatakan kepadanya: shalat witirlah kamu sebagai imam bagi sahabat-sahabatmu, karena aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada dua witir dalam semalam!”
Riwayat-riwayat ini sangat jelas menunjukkan kebolehan salat nawafil lagi setelah salat witir. Jika salat nafilah setelah witir haram, tidak mungkin Nabi ﷺ dan Shahabat akan melakukannya. Riwayat ini memperjelas maksud Nabi ﷺ untuk menjadikan salat witir sebagai salat sunnah, yakni perintah yang bermakna mandub dan afdholiyyah.
Jadi, hadis yang memerintahkan untuk menjadikan salat witir sebagai penutup salat sunnah bermakna; Jika seorang mukmin sudah berniat mengakhiri salat malam maka berwitirlah, tetapi tidak melarang jika setelah tidur lalu timbul keinginan baru untuk menambah salat.
Lagipula, jika ada orang yang melakukan salat tarawih kemudian dia tidak berwitir, kemudian dia tidur, lalu bangun di akhir malam untuk melakukan salat ta’qib kemudian berwitir, maka cara salat ta’qib seperti ini sudah tidak mungkin lagi dilarang memakai hadis tersebut. Tidak ada satupun dalil yang bisa dipakai untuk mencegah salat ta’qib tersebut.
Adapun hadis yang melarang ada dua witir dalam satu malam, maka argumentasi ini lebih mudah diselesaikan. Orang yang melakukan salat ta’qib tanpa melakukan salat witir sebelumnya dan hanya melakukan salat witir setelah selesai salat ta’qib, berarti tidak melanggar hadis tersebut. Termasuk pula orang yang sebelumnya sudah salat witir, kemudian dia salat ta’qib tanpa salat witir kembali (sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah ﷺ dan Tholq bin Ali) berarti dia tidak melanggar hadis tersebut.
Adapun riwayat Anas ( yang memerintahkan salat ta’qib di rumah, maka riwayat ini justru menunjukkan tidak tercelanya salat ta’qib bukan malah menunjukkan kemakruhannya. Buktinya, Anas ( sama sekali tidak mengingkarinya, dan hanya merekomendasikan untuk melakukannya di rumah. Rekomendasi Anas ( agar salat di rumah menunjukkan salat tersebut tidak terlarang. Maksud Anas ( memerintahkan salat di rumah adalah agar tidak menyusahkan kaum muslimin karena diperintahkan datang ke masjid dua kali. Ini menunjukkan ketidaksukaan Anas ( karena faktor di luar salat, bukan ketidaksukaan terhadap salat ta’qib itu sendiri, tetapi ketidak sukaan karena menyusahkan kaum muslimin. Jadi, riwayat ini malah sejalan dengan riwayat bahwa Anas ( mengatakan bahwa salat ta’qib itu khoir (kebaikan).
Adapun riwayat bahwa Al-Hasan Al-Bishri tidak menyukai salat ta’qib, maka ini adalah ketidaksukaan yang memiliki sebab. Yang tidak disukai Al-Hasan Al-Bishri adalah jika salat ta’qib dinstruksikan oleh yang memiliki otoritas sehingga bisa membuat manusia malah tidak suka ibadah karena jadi bosan. Mafhumnya, jika pelaksanaan salat ta’qib itu didasarkan pada inisiatif individu dan keinginan pribadi maka silakan saja. Hal ini mirip seperti masalah bacaan panjang dalam salat. Jika seseorang menjadi imam, maka bacaannya jangan memilih yang panjang. Tetapi jika salat sendiri, maka silakan membaca bacaan panjang sesuka hati. Ketidaksukaan Al-Hasan salat ta’qib jika diperintahkan penguasa ini disebutkan Ibnu Rojab dalam Fathu Al-Bari;
وكره الحسن أن يأمر الإمام الناس بالتعقيب؛ لما فيهِ من المشقة عليهم، وقال: من كانَ فيهِ قوة فليجعلها على نفسه، ولا يجعلها على الناس.
“Al-Hasan tidak suka seorang Imam memerintahkan orang-orang untuk melakukan ta’qib, karena mengandung masyaqqah/keberatan bagi mereka. Ia berkata, Barangsiapa memiliki kekuatan, maka hendaklah ia melakukannya pada dirinya sendiri dan tidak memerintahkan kepada orang-orang.
Atsar Said bin Jubair dan Qotadah bisa dipahami ketidak sukaan mereka terhadap salat ta’qib dengan alasan yang sama atau mirip dengan alasan Anas bin Malik ( dan Al-Hasan Al-Bishri.
Di antara ulama yang memakruhkan salat ta’qib Adalah Al-Kausaj. Beliau berkata;
فأما أن يكون إمام يصلي بهم أول الليل تمام الترويحات ثم يرجع [ع-23/ب] آخر الليل، فيصلي بهم جماعة فإن ذلك مكروه. ألا ترى إلى قول عمر رضي الله عنه حيث قال: التي تنامون عنها خير من التي تقومون فيها2، فكانوا يقومون أول الليل، فرأى القيام آخر الليل أفضل. فإنما كرهنا ذلك لما روى عن أنس بن مالك رضي الله عنه3
“Adapun jika ia seorang imam yang mengimami mereka di awal malam dengan salat tarawih yang sempurna, dan dia kembali di akhir malam, lalu salat mengimami mereka secara berjamaah, maka hal itu adalah makruh. Tidakkah engkau melihat ucapan Umar ( ketika beliau berkata ‘Waktu yang mereka tidur darinya adalah lebih baik daripada waktu yang mereka menghidupkan salat malam di dalamnya,” Mereka melakukan salat malam di awal malam, tetapi beliau melihat salat malam di akhir malam lebih baik. Kami tidak menyukai hal itu (salat ta’qib) berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik (.”
Konon, ini juga salah satu riwayat pendapat Ahmad sebagaimana dinukil Muhammad bin Al-Hakam. Al-Marghinani juga memakruhkan. Ibnu ‘Utsaimin memakruhkannya jika sudah tarawih sempurna di awal malam lalu salat lagi di akhir malam. Tetapi jika tarawihnya sengaja tidak dituntaskan (minimal tuntas tetapi tidak ditutup dengan salat witir) dengan maksud salat lagi di akhir malam, maka hal itu tidak mengapa. Ibnu ‘Utsaimin berkata,
لكن لو أنَّ هذا التَّعقيبَ جاء بعد التَّراويح وقبل الوِتر، لكان القول بعدم الكراهة صحيحاً، وهو عمل النَّاس اليوم في العشر الأواخر من رمضان، يُصلِّي النَّاس التَّراويح في أول الليل، ثم يرجعون في آخر الليل، ويقومون يتهجَّدون
“Tetapi seandainya ta’qib ini dilakukan sesudah tarawih sebelum witir, maka pendapat yang mengatakan bahwa itu tidak makruh adalah benar. Ini adalah amalan manusia di zaman sekarang pada sepuluh terakhir di bulan Ramadan. Orang-orang salat tarawih di awal malam, kemudian kembali lagi di akhir malam. Mereka melakukan salat malam dan bertahajjud.”
Kritikan Terhadap Pendapat yang Mengharamkan Salat Ta’qib
Argumentasi utama pihak yang mengharamkan ta’qib adalah karena dalil-dalil umum tentang cara salat tarawih telah dipraktekkan Rasulullah ﷺ dan generasi salaf secara konsisten dengan cara tertentu, maka menyelisihinya adalah bid’ah. Salat ta’qib tidak pernah dipraktekkan di masa Rasulullah ﷺ dan para Shahabat, maka melakukannya adalah bid’ah. Ibnu Rojab menukil ucapan Sufyan Ats-Tsauri bahwa salat ta’qib adalah bid’ah;
وقال الثوري: التعقيب محدث
“Ats-Tsauri mengatakan, “Ta’qib adalah muhdats (bid’ah)”
Semua atsar yang menunjukkan generasi salat memakruhkan salat ta’qib maka maksudnya adalah haram, karena makruh dalam istilah mereka memang sering dipakai untuk makna haram.
Jawaban argumentasi di atas adalah sebagai berikut.
Apa yang tidak dilakukan Nabi ﷺ tidak semuanya bermakna bid’ah, karena sesuatu yang ditinggalkan Nabi ﷺ memiliki sejumlah makna. Kadang beliau meninggalkan sesuatu karena khawatir diwajibkan, khawatir memberatkan umat, karena tidak wajib, karena jijik, karena lupa, karena tidak tergagas, karena termasuk keumuman nash, karena khawatir mengubah hati shahabat, karena persoalan belum muncul, dan lain-lain[1].
Jadi, apa yang ditinggalkan Rasulullah ﷺ tidak bisa langsung dimaknai haram, namun harus dikaitkan dengan nash-nash yang lain dan dihubungkan dengan qorinah-qorinah seputar topik tersebut untuk memahami status apa yang ditinggalkan apakah bermakna haram, mubah, sunnah, dan lain-lain. Seandainya apa yang ditinggalkan Rasulullah ﷺ secara mutlak semuanya bermakna haram, niscaya para shahabat sedikitpun tidak akan berani melakukan apapun secara mutlak apa yang tidak pernah dilakukan Rasulullah ﷺ. Faktanya, dalam sejarah ada banyak hal yang dilakukan shahabat yang tidak dilakukan oleh Rasulullah ﷺ baik terkait ibadah maupun selain ibadah. Para shahabat shalat tarawih berjamaah sebulan penuh, adzan dua kali saat Jumat, puasa sepanjang masa, mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf, memperluas masjid Nabawi, dan lain-lain yang semuanya menunjukkan bahwa apa yang tidak dilakukan Rasulullah ﷺ tidak langsung difahami sebagai hal yang haram. Jika apa yang tidak dilakukan Rasulullah ﷺ saja tidak bisa langsung difahami sebagai haram, maka apa yang tidak dilakukan Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan ulama-ulama salaf lebih utama untuk tidak difahami sebagai haram apalagi menjadi dalil. Hal itu dikarenakan apa yang tidak dilakukan mereka lebih banyak lagi faktornya sehingga kemungkinan maknanya juga semakin banyak. Apalagi perbuatan selain Nabi ﷺ bukanlah menjadi dalil, sehingga tidak bisa dibahas dalam diskusi hukum syara’.
Lebih dari itu, alasan bahwa salat ta’qib tidak pernah dilakukan sahahabat jelas keliru, karena Abu Dawud meriwayatkan bahwa Tholq bin ‘Ali melakukan salat ta’qib. Lagipula, apa yang tidak dilakukan khulafaur rosyidin bukan berarti haram selama masih tercakup keumuman nash-nash. Sebagaimana orang yang membiasakan baca Al-Qur’an setelah Maghrib sampai Isya, meski tidak ada riwayat dilakukan khulafa rosyidin maka itu tetap perbuatan ma’ruf karena sesuai dengan nash umum tentang tilawah qur’an.
Adapun riwayat bahwa Sufyan Ats-Tsauri mengatakan salat ta’qib itu muhdats/bid’ah, maka yang dimaksud ini adalah bid’ah secara bahasa. Artinya, salat ta’qib dari sisi perbuatan belum ada di zaman Rasulullah ﷺ. Ini sama seperti ucapan Umar ( yang mengatakan tarawih berjamaah sebulan penuh adalah bid’ah. Itu bukan ucapan mencela, tetapi sekedar deskripsi fakta baru dalam hal ibadah. Adapun hukumnya, itu persoalan lain. Hukum salat ta’qib dan salat tarawih harus dibahas berdasarkan dalil-dalil yang bersinggungan dengan kedua topik tersebut.
Di antara ulama yang membid’ahkan salat ta’qib menurut Abu Abdillah As-Salafi adalah Al-Albani. Dalam kaset no.719 silsilah al-huda wa an-nur, Al-Albani memfatwakan bahwa membagi salat tarawih menjadi dua sesi; di awal malam dan di akhir malam di bulan Ramadan adalah bid’ah, bid’ah, bid’ah (beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali).
Ulama lain yang mengharamkan salat ta’qib adalah Abu Abdirrahman bin ‘Isa Al-Batani. Beliau mengarang makalah khusus terkait topik ini berjudul “Dhiya’ Al-Mashobih Tajliyatu Hukmi Sholati At-Tahajjud Jama’atan Ba’da At-Tarowih”. Kitab ini adalah buku bagus sebagai bahan referensi untuk mendalami argumentasi pihak yang mengharamkan salat ta’qib.
Penutup
Atas dasar ini, bisa disimpulkan bahwa salat ta’qib tidak dilarang dan tidak dimakruhkan. Salat ta’qib adalah amal ma’ruf, kebaikan, dan ketaaatan yang bisa diharapkan balasan kebaikan dari Allah (. Hanya saja, yang terbaik adalah mencukupkan diri salat di akhir malam, karena tarawih di awal malam (setelah Isya’) itu sebenarnya adalah untuk meringankan kaum muslimin yang berat bangun di akhir malam. Salat tarawih di akhri malam ini adalah waktu yang diakui Umar ( sebagai waktu yang lebih afdhol dari pada salat di awal siang. Bukhari meriwayatkan,
…قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ…
“Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang salat awal malam’ Beliau memaksudkan orang yang mendirikan salat di akhir malam (lebih baik dari pada yang melakukannya di akhir malam), sedangkan orang-orang secara umum melakukan salat pada awal malam”[2]
——–
[1] Uraian lebih panjang bisa dibaca pada tulisan kami yang berjudul “Apakah Semua Yang Tidak Dilakukan Nabi Dihukumi Bid’ah?” dalam tautan berikut ini; https://irtaqi.net/2017/06/07/apakah-semua-yang-tidak-dilakukan-nabi-dihukumi-bidah/
[2] Konon, menganjurkan salat di akhir malam tanpa perlu salat dua sesi juga menjadi fatwa Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Ibnu Al-Farro’ berkata,
المسائل الفقهية من كتاب الروايتين والوجهين (1/ 161)
ويروى عن أنس أنه كرهه، ولكن يؤخرون القيام إلى آخر الليل كما قال عمر
“Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau tidak menyukainya, tetapi mereka mengakhirkan salat sampai akhir malam sebagaimana dikatakan oleh Umar.”
https://irtaqi.net/2017/06/09/hukum-shalat-taqib/
Komentar
Posting Komentar